selamat Datang

selamat Datang

Kamis, 03 September 2009

Cerpen

SANG MUJAHID


Kang Narto terdiam lesu. Matanya sayu, pucat pula raut mukanya. Seolah tak ada lagi semangat dalam hidupnya. Semilir angin kemarau panjang tahun ini menerpa wajah kang Narto, membawa butiran-butiran halus debu yang menyesakkan. Rambut ikalnya berbalur debu. Sesaat matanya terpejam menahan debu yang mesuk ke pelupuk matanya. Namun tak lama kemudian kembali terpancar tatapan kosong dari wajah kang Narto. Terlukis kesedihan yang mendalam dari wajahnya, mungkin sampai separuh jiwanya tersandra oleh rasa penyesalan.
“Kang ayolah, coba Sampeyan pikirkan lagi tawaranku!”, masih ingat sekali kang Narto pada kejadian 5 bulan yang lalu, manakala Mas Marwan, teman semasa SMP-nya mendatangi kang Narto.
“Tapi saya masih ndak mengerti dengan maksudmu Wan!”
“Mudah saja sampeyan hanya menjual rumah sampeyan untuk keperluan amaliyah yang di jalanan organisasi saya, yang kebetulan sedang kekurangan dana!”
“Tapi apa yang sebenarnya sampeyan jalankan tho Wan?”
“Kang Narto tak perlu merisaukan soal itu, yakinlah bahwa ini semua yang akan saya lakukan demi kepentingan agama, Sampeyan tahu sendiri bukan, kalau saya ini lulusan sekolah islam dari Malaysia, Waktu di sekolahkan di Malaysia, saya mendapat guru besar yang banyak mengajari saya bagaimana untuk menjadi seorang mujahid sejati, Kang Narto harus banyak belajar dari saya, kalau ndak saya pastikan kakang akan menyesal telah menyia-nyia kesempatan yang sangat besar ini!”
“Kesempatan besar? Apa maksudmu Wan?”
“Asal kang Narto tahu saja, Kami, maksud saya, organisasi saya berjihad secara sembunyi-sembunyi, jadi tidak semua orang akan mendapat kesempatan kami datangi. Dan tahukah, kang Narto adalah orang terpilih, orang yang kami pilih atas izin Allah SWT!”
“Bagaimana sampeyan bisa memilih saya tho Wan, jelas-jelas saya ini ndak terlalu kaya, saya biasa-biasa saja! Jelas masih banyak yang lebih mampu dari saya!”
“Kang, saya itu sahabat yang selalu mengerti kakang, saya tahu usaha kakang tengah berkembang cukup pesat, ini jalan yang akan Allah berikan, untuk sebuah jihad yang amat mulia, saya yakin benar, Gusti Allah akan member kakang lebih dari apa yang kakang bayangkan! Ayolah kang!”
“Saya masih ragu Wan! Biar ku Tanya pada si Rahayu dulu, bagaimanapun dia istri ku, dia juga berhak menentukan hal yang amat besar ini!”
“Sudahlah kang, Mbakyu Rahayu itu, istri yang sholehah, saya yakin, apa yang kang Narto putuskan dia pasti setuju!”
“Tapi Wan, haruskah yang saya jual itu rumah saya?”
“Apa yang bisa menghasilkan nominal lebih dari 100 juta selain rumah kakang?”
“Haruskah senilai itu yang saya sumbangkan untuk Jihad yang sampeyan maksudkan?”
“Akh, Kang apa nilai 100 juta untuk sebuah tujuan surge yang hakiki, untuk kemuliaan islam di persada bumi? Tak ada nilainya sama sekali kang, bahkan Gusti Allah telah menjanjikan kemuliaan bagi orang yang mau berkorban untuk berjihad, tak inginkah kakang menjumpai surge yang lama telah kita rindui? Tak inginkah kakang dimuliakan Gusti Allah?”
“Piye Ya Wan? Siapa yang ndak ingin , tapi benarkah yang Sampeyan sampaikan? Lalu apa yang akan saya katakana pada anak-anak yang masih amat polos untuk kenal hal semacam ini?”
“Bawalah anak-anak padaku kang! Akan ku beri mereka pengertian, Si sulung Ahmad, anakmu, sudah kelas 3 SMP bukan?”
“Tapi Si Fatimah, masih terlalu kecil, baru kelas 2 SD dia!”
“Tak apa, aku sudah biasa, menghadapi anak sekecil itu!”
“Sampeyan yakin Wan?”
“Percayalah! Aku ini sahabatmu sejak masih belia!”, Mas Marwan meyakinkan Kang Narto seraya menepuk pundak kang Narto yang Nampak masih berfikir keras di hadapannya. “Bagaimana Kang?”, lanjut Mas Marwan.
“Ya, Saya yakin sekarang, Saya mau, besok akan saya jual rumah itu, em…tapi dimana saya akan tinggal bersama keluarga saya?”
“Tak perlu gundah kang, Yang utama dulu kakang harus legawa, besok datanglah di rumahku, tinggallah disana semau sampeyan, sekalian biar aku bisa membimbing Ahmad sebagaimana yang telah aku janjikan pada kakang tadi! Ya sudah Kang, Saya permisi dulu, Assalamualaikum warrahmatullah hiwabarokatuh!”, Suara Mas Marwan melantunkan salam amat merdu menngetarkan hati kang Narto sampai membuatnya makin yakin pada keputusan yang telah ia buat untuk menjual rumahnya demi kepentingan jihad dan memenuhi cita-citanya menjadi seorang mujahid sejati.
“Wallaikum salam!”
* * *

“Bagaimana Bune tentang keputusanku menjual rumah ini sebagaimana telah aku ceritakan padamu ikhwal peristiwanya tadi?”
“Apa Pakne sudah berfikir masak-masak tentang keputusan yang pakne ambil, kalau saya sih jadi istri ya Cuma mangga-mangga saja yang penting pakne tahu semua konsekuensi dari keputusan itu!”, Yu Rahayu, istri kang Narto hanya ringan menanggapi tuturan kang Narto. Yu Rahayu sejak dulu memang istri yang patuh, tak pernah sekalipun ia menentang apa yang di ucapkan kang Narto. Teduh memang kang Narto mendengar ucapan istrinya, namun masih dipikir pula konsekuensi yang di maksud Yu Rahayu, Di ingat dalam-dalam ucapan mendiang bapaknya menjelang meregang nyawa.
“Le Narto, rumah ini hanya satu-satunya yang bapak dapat tinggalkan padamu, jagalah sebaik-baiknya Le. Pergunakanlah sebaik-baiknya!”, benar-benar amat mengusik kang Narto ingatannya akan wasiat 10 tahun yang lalu diperdengarkannya. Namun disisi lain pernah ia mendapat wasiat dari bapaknya tentang arti jihad “Le, berjihadlah dalam hidupmu, korbankan apa yang Kau punya untuk berjuang dijalan-Nya niscaya kau pasti dimuliakan oleh-Nya!”, Beradalah kini kang Narto dalam kebimbangan. Siapa yang mau dianutinya lagi. Benarkah apa yang dikatakan Marwan, benarkah dia, sejatikah ucapan-ucapannya?

* * *
“Sugeng enjing kang Narto, Assalamualaikum?”, Lantang Suara Mas Marwan memasuki pintu depan rumahnya.
“Walaikum salam!”
“Bagaimana kang Perihal janji Kakang kemarin?”, Kang Narto masih terdiam dalam keragu-raguannya “Ingatlah kang, Sampeyan sudah berucap janji, maukah Sampeyan menelan ludahmu sendiri?”, Lanjut Mas Marwan menekan Kang Narto
“Baiklah Wan, kupikir benar apa yang Sampeyan bilang, Ini semua demi bekalku menemui Gusti Allah nanti!”
“Subhanallah, Benar-benar kuasa Gusti Allah atas segalanya, Aku Yakin Kang Gusti Allah akan memuliakanmu!”
“Tapi saya belum tahu pada siapa saya akan menjual rumah beserta tanah ini!”
“Untuk niat baik itu, akan saya bantu kang!”
“Ya Syukurlah!”
“Nah Kang mari ku bantu berkemas untuk tinggal di tempat saya berkumpul dengan para mujahid-mujahid lain! Oh Ya mana Ahmad ada yang hendak kubicarakan!”
“Di dalam Wan, panggil saja!”

Tak pernah terbesit bayangan mencekam dalam benak kang Narto sebelumnya. Apa yang akan terjadi selepas dia menyatakan dirinya sebagai seorang mujahid, merekan segenap hartanya. Kang Narto hanya optimis pada ucapan sahabatnya yang sudah paham benar dengan ilmu agama tersebut.

“Bapak…Imah kangen sama ibu! bapak, mana ibu?”, Rengekan Fatimah, anak bungsu Kang Narto tiba-tiba membuyarkan lamunan kang Narto. “Ibu sama Mas Ahmad mana pak? Kenapa ndak pulang-pulang, apa ibu ndak sayang lagi pada Imah?”
“Sini nduk sama bapak saja, cup sayang…jangan nangis!”, Kang Narto mencoba meredam tangis malaikat kecilnya itu. Masih lekat dalam ingatan Kang Narto bagaimana sebulan lalu ledakan dasyhat di pasar Raharjo, pasar budaya yang selalu ramai dengan wisatawan asing itu hancur, luluh lantak oleh sebuah ledakan yang memang jelas sekali, seorang remaja yang kira-kira berusia 15 Tahun menjadi peledak bom itu, belakangan Kang Narto sadar, Arjuna kebanggaanya, Si Ahmad lah yang dimaksud-maksud dalam berita yang ia saksikan.
Akhirnya mata Kang Narto terbuka juga, Jihad yang dimaksud Mas Marwan selama ini adalah peledakan-peledakan tempat umum semacam itu.Menyesal benar kang Narto, Ternyata apa yang dibilang Mas Marwan ingin meluruskan pandangan si Gun, ia justru menanamkan nilai-nilai islam radikalisme, Kini Kang Narto harus menanggung akibatnya, Mas Marwan dan teman-temannya dalam kejaran polisi dan kini ia tak tahu ada dimana mereka. Iapun harus kehilangan Si Gun, yah untuk selama-lamanya. Tak urung sampai disitu kepergian buah hatinya dengan cara semacam itu membuat yu Rahayu harus meregang nyawa pula, tak sanggup ia menerima kenyataan pahit itu. Kini hanya tinggal Kang Narto dan Fatimah, di antaran kepulan debu kemarau yang menorah sejarah kelam tentang impian menjadi mujahid sejati, kini rasanya hanya menyesakkan mata hati dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan komentar